KONSEP DASAR PROFESI
KONSEP DASAR PROFESI
DISUSUN OLEH :
WAODE ANDRIA RAJAB
16 – 630 – 034
PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DAYANU IKHSANUDDIN
BAUBAU
2018/2019
BAB 1
KONSEP DASAR PROFESI
A. Pendahuluan
Pada bab 1 ini akan dipelajari konsep dasar profesi, yang
akan
mengantarkan pembaca memiliki pemahaman tentang apa
profesionalisme itu, syarat-syarat/ prinsip-prinsip
profesionalitas,
istilah-istilah yang berkait dengan profesi,
tingkatan-tingkatan profesi
dan urgensi profesi dalam kehidupan baik bagi individu maupun
orang lain. Jadi tujuan bab 1 ini akan membahas:
1. Pengertian profesi
2. Syarat/prinsip-prinsip profesionalisme
3. Istilah-istilah yang berkait dengan profesi
4. Tingkatan-tingkatan profesi
5. Urgensi profesionalismedalam kehidupan manusia
B. Pengertian Profesi.
Secara etimologi profesi dari kata profession yang berarti
pekerjaan. Professional artinya orang yang ahli atau tenaga
ahli.
Professionalism artinya sifat professional. (John M. Echols
& Hassan
Shadily, 1990: 449).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah profesionalisasi
ditemukan sebagai berikut: Profesi adalah bidang pekerjaan
yang
dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan dan
sebagainya)
tertentu. Profesional adalah (1) bersangkutan dengan
profesi, (2)
memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya dan (3)
mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya.
Profesionalisasi adalah proses membuat suatu badan
organisasi agar
menjadi professional. (Depdiknas, 2005: 897).
Secara leksikal, perkataan profesi itu ternyata mengandung
berbagai makna dan pengertian. Pertama, profesi itu
menunjukkan dan
mengungkapkan suatu kepercayaan (to profess means to trust),
bahkan
suatu keyakinan (to belief in) atas sesuatu kebenaran (ajaran
agama)
atau kredibilitas seseorang (Hornby, 1962). Kedua, profesi
itu dapat
pula menunjukkan dan mengungkapkan suatu pekerjaan atau
urusan
tertentu (a particular business, Hornby, 1962). Webster’s
New World
Dictionary menunjukkan lebih lanjut bahwa profesi merupakan
suatu
pekerjaan yang menuntut pendidikan tinggi (kepada
pengembannya)
dalam liberal arts atau science, dan biasanya meliputi
pekerjaan mental
dan bukan pekerjaan manual, seperti mengajar, keinsinyuran,
mengarang, dan sebagainya; terutama kedokteran, hukum dan
teknologi. Good’s Dictionary of Education lebih menegaskan
lagi bahwa
profesi itu merupakan suatu pekerjaan yang meminta persiapan
spesialisasi yang relatif lama di perguruan tinggi (kepada
pengembannya) dan diatur oleh suatu kode etika khusus. Dari
berbagai
penjelasan itu dapat disimpulkan bahwa profesi itu pada
hakekatnya
merupakan suatu pekerjaan tertentu yang menuntut persyaratan
khusus dan istimewa sehingga meyakinkan dan memperoleh
kepercayaan pihak yang memerlukannya.
Pada umumnya masyarakat awam memaknai kata
profesionalisme bukan hanya digunakan untuk pekerjaan yang
telah
diakui sebagi suatu profesi, melainkan pada hampir setiap
pekerjaan.
Muncul ungkapan misalnya penjahat profesional, sopir
profesional,
hingga tukang ojeg profesional. Dalam bahasa awam pula,
seseorang
disebut profesional jika cara kerjanya baik, cekatan, dan
hasilnya
memuaskan. Dengan hasil kerjanya itu, seseorang mendapatkan
uang
atau bentuk imbalan lainnya.
Dalam bahasa populer, profesionalisme dikontraskan dengan
amatiran. Seorang amatir dianggap belum mampu bekerja secara
terampil, cekatan, dan baru taraf belajar. Dalam olahraga
lebih jelas
perbedaannya dengan menggunakan ukuran bayaran. Pemain
profesional adalah pemain yang berhak mendapatkan bayaran
sebagai
imbalan dari kesetaraannya dalam pertandingan. Faktor
bayaran
merupakan alasan utama mengapa seseorang bermain. Pemain
amatir,
di pihak lain, bermain bukan dibayar, melainkan untuk bermain
dan
memenangkan pertandingan – meskipun mendapatkan bayaran juga
dari induk organisasinya atau bonus dari pemerintah/swasta.
khusus dan istimewa sehingga meyakinkan dan memperoleh
kepercayaan pihak yang memerlukannya.
Pada umumnya masyarakat awam memaknai kata
profesionalisme bukan hanya digunakan untuk pekerjaan yang
telah
diakui sebagi suatu profesi, melainkan pada hampir setiap
pekerjaan.
Muncul ungkapan misalnya penjahat profesional, sopir
profesional,
hingga tukang ojeg profesional. Dalam bahasa awam pula,
seseorang
disebut profesional jika cara kerjanya baik, cekatan, dan
hasilnya
memuaskan. Dengan hasil kerjanya itu, seseorang mendapatkan
uang
atau bentuk imbalan lainnya.
Dalam bahasa populer, profesionalisme dikontraskan dengan
amatiran. Seorang amatir dianggap belum mampu bekerja secara
terampil, cekatan, dan baru taraf belajar. Dalam olahraga
lebih jelas
perbedaannya dengan menggunakan ukuran bayaran. Pemain
profesional adalah pemain yang berhak mendapatkan bayaran
sebagai
imbalan dari kesetaraannya dalam pertandingan. Faktor
bayaran
merupakan alasan utama mengapa seseorang bermain. Pemain
amatir,
di pihak lain, bermain bukan dibayar, melainkan untuk
bermain dan
memenangkan pertandingan – meskipun mendapatkan bayaran juga
dari induk organisasinya atau bonus dari pemerintah/swasta.
Pernyataan di atas itu mengimplikasikan bahwa sebenarnya
seluruh pekerjaan apapun memungkinkan untuk berkembang
menuju
kepada suatu jenis model profesi tertentu. Dengan
mempergunakan
perangkat persyaratannya sebagai acuan, maka kita dapat
menandai
sejauh mana sesuatu pekerjaan itu telah menunjukkan
ciri-ciri atau
sifat-sifat tertentu dan/atau seseorang pengemban pekerjaan
tersebut
juga telah memiliki dan menampilkan ciri-ciri atau
sifat-sifat tertentu
pula yang dapat dipertanggungjawabkan secara profesional
(memadai
persyaratan sebagai suatu profesi). Berdasarkan
indikator-indikator
tersebut maka selanjutnya kita akan dapat mempertimbangkan
derajat
profesionalitasnya (ukuran kadar keprofesiannya). Jika
konsepsi
keprofesian itu telah menjadi budaya, pandangan, faham, dan
pedoman
hidup seseorang atau sekelompok orang atau masyarakat
tertentu,
maka hal itu dapat mengandung makna telah tumbuh-kembang
profesionalisme di kalangan orang atau masyarakat yang
bersangkutan.
Namun ada semacam common denominators antara berbagai
profesi. Suatu profesi umumnya berkembang dari pekerjaan
(vocation)
yang kemudian berkembang makin matang. Selain itu, dalam
bidang
apapun profesionalisme seseorang ditunjang oleh tiga hal.
Tanpa ketiga
hal ini dimiliki, sulit seseorang mewujudkan
profesionalismenya. Ketiga
hal itu ialah keahlian, komitmen, dan keterampilan yang
relevan yang
membentuk sebuah segitiga sama sisi yang ditengahnya
terletak
profesionalisme. Ketiga hal itu pertama-tama dikembangkan
melalui
pendidikan pra-jabatan dan selanjutnya ditingkatkan melalui
pengalaman dan pendidikan/latihan dalama jabatan. Karena
keahliannya yang tinggi, maka seorang profesional dibayar
tinggi. ”well
educated, well trained, well paid”, adalah salah satu
prinsip
profesionalisme.
Profesionalitas adalah suatu sebutan terhadap kualitas sikap
para
anggota suatu profesi terhadap profesinya serta derajat
pengetahuan
dan keahlian yang mereka miliki untuk dapat melakukan tugas-
tugasnya. Dengan demikian, profesionalitas guru PAI adalah
suatu
“keadaan” derajat keprofesian seorang guru PAI dalam sikap,
pengetahuan, dan keahlian yang diperlukan untuk melaksanakan
tugas
pendidikan dan pembelajaran agama Islam. Dalam hal ini, guru
PAI
diharapkan memiliki profesionalitas keguruan yang memadai
sehingga
mampu melaksanakan tugasnya secara efektif.
Secara istilah, profesi biasa diartikan sebagai suatu bidang
pekerjaan yang didasarkan pada keahlian tertentu. Hanya saja
tidak
semua orang yang mempunyai kapasitas dan keahlian tertentu
sebagai
buah pendidikan yang ditempuhnya menempuh kehidupannya
dengan
keahlian tersebut, maka ada yang mensyaratkan adanya suatu
sikap
bahwa pemilik keahlian tersebut akan mengabdikan dirinya
pada
jabatan tersebut.
Ahmad Tafsir memberikan pengertian profesionalisme sebagai
paham yang mengajarkan bahwa setiap pekerjaan harus
dilakukan oleh
orang yang professional. (Ahmad Tafsir,
1992: 107).
Sudarwan Danim merujuk pendapat Howard M. Vollmer dan
Donald L. Mills berpendapat bahwa profesi adalah suatu
pekerjaan
yang menuntut
kemampuan intelektual khusus yang diperoleh melalui
kegiatan belajar dan pelatihan yang bertujuan untuk
menguasai
ketrampilan atau keahlian dalam melayani atau memberikan
advis pada
orang lain dengan memperoleh upah atau gaji dalam jumlah
tertentu.
(Sudarwan Danim, 2010: 56).
Profesional menurut rumusan Undang-Undang nomor 14
Tahun 2005 Bab I Pasal 1 ayat 4 digambarkan sebagai
pekerjaan atau
kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber
penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran,
dan
kecakapan yang memenuhi standar mutu dan norma tertentu
serta
memerlukan pendidikan profesi. (Sekretariat Negara, 2005:
6).
Dari berbagai pengertian
di atas tersirat bahwa dalam profesi
digunakan teknik dan prosedur intelektual yang harus
dipelajari secara
sengaja, sehingga dapat diterapkan untuk kemaslahatan orang
lain.
Dalam kaitan ini seorang pekerja profesional dapat dibedakan
dari
seorang pekerja amatir walaupun sama-sama menguasai sejumlah
teknik dan prosedur kerja tertentu, seorang pekerja
profesional
memiliki filosofi untuk menyikapi dan melaksanakan
pekerjaannya.
(Syafruddin Nurdin, 2005: 13-14).
C. Syarat-syarat Profesi.
Menurut Syafrudin Nurdin ada delapan kriteria yang harus
dipenuhi oleh suatu pekerjaan agar dapat disebut sebagai
profesi, yaitu :
1. Panggilan hidup yang sepenuh waktu
2. Pengetahuan dan kecakapan atau keahlian
3. Kebakuan yang universal
4. Pengabdian
5. Kecakapan diagnostik dan kompetensi aplikatif
6. Otonomi
7. Kode etik
8. Klien
9. Berperilaku pamong
10.Bertanggung jawab, ( Syafrudin Nurdin, 2005: 14-15).
Sementara Ahmad Tafsir mengemukakan 10 kriteria/syarat
untuk sebuah pekerjaan yang bisa disebut profesi, yaitu:
1. Profesi harus memiliki suatu keahlian yang
khusus.
2. Profesi harus diambil sebagai pemenuhan
panggilan hidup.
3. Profesi memiliki teori-teori yang baku secara
universal.
4. Profesi adalah diperuntukkan bagi masyarakat.
5. Profesi harus dilengkapi dengan kecakapan diagnostic dan
kompetensi aplikatif.
6. Pemegang profesi memegang otonomi dalam
melakukan profesinya.
7. Profesi memiliki kode etik.
8. Profesi miliki klien yang jelas.
9. Profesi memiliki organisasi profesi.
10.Profesi mengenali hubungan profesinya dengan
bidang-bidang lain.
(Ahmad Tafsir, 1992:
108).
Dalam UU Nomor 20
Tahun 2003 tentang SISDIKNAS Pasal
39 (ayat 2) jabatan guru dinyatakan sebagai jabatan
professional. Teks
lengkapnya sebagai berikut:
“Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas
merencanakan
dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran,
melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan
penelitian
dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik
pada
perguruan tinggi”. (Sekretariat Negara, 2003: 26).
pasal 7 ayat 1, prinsip profesional guru mencakup
karakteristik
sebagai berikut:
1. Memiliki bakat, minat, panggilan, dan idealisme.
2. Memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang
pendidikan
sesuai dengan bidang tugas.
3. Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang
tugas.
4. Memiliki ikatan kesejawatan dan kode etik profesi.
5. Bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan.
6. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan
prestasi
kerja.
7. Memiliki kesempatan untuk mengembangkan profesi
berkelanjutan.
8. Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan
keprofesionalan.
9. Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan
mengatur
hal-hal yang berkaitan dengan keprofesian.
(Sekretariat Negara, 2005: 15):
Robert W. Richey (Arikunto, 1990:235) mengemukakan ciri-
ciri dan syarat-syarat profesi sebagai berikut:
1. Lebih mementingkan pelayanan kemanusiaan yang ideal
dibandingkan dengan kepentingan pribadi.
2. Seorang pekerja profesional, secara aktif memerlukan
waktu yang
panjang untuk mempelajari konsep-konsep serta
prinsip-prinsip
pengetahuan khusus yang mendukung keahliannya.
3. Memiliki kualifikasi tertentu untuk memasuki profesi
tersebut serta
mampu mengikuti perkembangan dalam pertumbuhan jabatan.
4. Memiliki kode etik yang mengatur keanggotaan, tingkah
laku, sikap
dan cara kerja.
5. Membutuhkan suatu kegiatan intelektual yang tinggi.
6. Adanya organisasi yang dapat meningkatkan standar
pelayanan,
disiplin diri dalam profesi, serta kesejahteraan anggotanya.
7. Memberikan kesempatan untuk kemajuan, spesialisasi, dan
kemandirian.
8. Memandang profesi suatu karier hidup (alive career) dan
menjadi
seorang anggota yang permanen.
Lieberman (1956), mengemukakan bahwa karakteristik
semua jenis profesi kalau dicermati secara seksama ternyata
terdapat
titik-titik persamaannya. Di antara pokok-pokok persamaannya
itu
ialah sebagai berikut.
1. A unique, definite, and essential service
Profesi itu merupakan suatu jenis pelayanan atau pekerjaan
yang unik (khas), dalam arti berbeda dari jenis pekerjaan
atau
pelayanan apapun yang lainnya. Di samping itu, profesi juga
bersifat
definitif dalam arti jelas batas-batas kawasan cakupan
bidang
garapannya (meskipun mungkin sampai batas dan derajat
tertentu ada
kontigensinya dengan bidang lainnya). Selanjutnya, profesi
juga
merupakan suatu pekerjaan atau pelayanan yang amat penting,
dalam
arti hal itu amat dibutuhkan oleh pihak penerima jasanya
sementara
pihaknya sendiri tidak memiliki pengetahuan, keterampilan,
dan
kemampuan untuk melakukannya sendiri.
2. An emphasis upon
intellectual technique in performing its service
Pelayanan itu amat menuntut kemampuan kinerja intelektual,
yang berlainan dengan keterampilan atau pekerjaan manual semata-
mata. Benar, pelayanan profesi juga terkadang mempergunakan
peralatan manual dalam praktek pelayanannya, seperti seorang
dokter
bedah misalnya menggunakan pisau operasi, namun proses
penggunaannya dibimbing oleh suatu teori dan wawasan
intelektual.
3. A long period of specialized training
Untuk memperoleh penguasaan dan kemampuan intelektual
(wawasan atau visi dan kemampuan atau kompetensi serta
kemahiran
atau skills) serta sikap profesional tersebut di atas,
seseorang akan
memerlukan waktu yang cukup lama untuk mencapai kualifikasi
keprofesian sempurna lazimnya -tidak kurang dari lima tahun
lamanya; ditambah dengan pengalaman praktek terbimbing
hingga
tercapainya suatu tingkat kemandirian secara penuh dalam
menjalankan profesinya. Pendidikan keprofesian termaksud
lazimnya
diselenggarakan pada jenjang pendidikan tinggi, dengan
proses
pemagangannya sampai batas waktu tertentu dalam bimbingan
para
seniornya.
4. A broad range of
autonomy for both the individual practitioners and
the occupational group as a whole
Kinerja pelayanan itu demikian cermat secara teknis sehingga
kelompok (asosiasi) profesi yang bersangkutan sudah
memberikan
jaminan bahwa anggotanya dipandang mampu untuk melakukannya
sendiri tugas pelayanan tersebut, apa yang seyogianya
dilakukan dan
bagaimana menjalankannya, siapa yang seyogianya memberikan
izin
dan lisensi untuk melaksanakan kinerja itu.
Individu-individu dalam
kerangka kelompok asosiasinya pada dasarnya relatif bebas
dari
pengawasan, dan secara langsung mereka menangani prakteknya.
Dalam hal menjumpai sesuatu kasus yang berada di luar
kemampuannya, mereka membuat rujukan (referral) kepada orang
lain dipandang lebih berwenang, atau membawanya ke dalam
suatu
panel atau konferensi kasus (case conference).
5. An acceptance by the practitioners of broad personal
responsibility
for judgments made and acts performed within the scope of
professional autonomy
Konsekuensi dari otonomi yang dilimpahkan kepada seorang
tenaga praktisi profesional itu, maka berarti pula ia
memikul
tanggung jawab pribadinya harus secara penuh. Apapun yang
terjadi,
seperti dokter keliru melakukan diagnosis atau memberikan
perlakuan terhadap pasiennya atau seorang guru yang keliru
menangani permasalah siswanya, maka kesemuanya itu harus
dipertanggungjawabkannya, serta tidak selayaknya menudingkan
atau melemparkan kekeliruannya kepada pihak lain.
6. An emphasis upon the service to be rendered, rather than
the
economic gain to the practitioners, as the basis for the
organization
and performance of the social service delegated to the
occupational
group.
Mengingat pelayanan profesional itu merupakan hal yang amat
esensial (dipandang dari pihak masyarakat yang
memerlukannya)
maka hendaknya kinerja pelayanan tersebut lebih mengutamakan
kepentingan pelayanan pemenuhan kebutuhan tersebut,
ketimbang
untuk kepentingan perolehan imbalan ekonomis yang akan
diterimanya. Hal itu bukan berarti pelayanan profesional
tidak boleh
memperoleh imbalan yang selayaknya. Bahkan seandainya
kondisi
dan situasi menuntut atau memanggilnya, seorang profesional
itu
hendaknya bersedia memberikan pelayanan tanpa imbalan
sekalipun.
7. A comprehensive self-gouverning organization of
practitioners
Mengingat pelayanan itu sangat teknis sifatnya, maka
masyarakat menyadari bahwa pelayanan semacam itu hanya
mungkin
dilakukan penanganannya oleh mereka yang kompeten saja.
Karena
masyarakat awam di luar yang kompeten yang bersangkutan,
maka
kelompok (asosiasi) para praktisi itu sendiri satu-satunya
institusi
yang seyogianya menjalankan peranan yang ekstra, dalam arti
menjadi polisi atau dirinya sendiri, ialah mengadakan
pengendalian
atas anggotanya mulai saat penerimaannya dan memberikan
sanksinya bilamana diperlukan terhadap mereka yang melakukan
pelanggaran terhadap kode etikanya.
8. A code of ethics
which has been clarified and interpreted at
ambiguous and doubtful points by concrete cases
Otonomi yang dinikmati dan dimiliki oleh organisasi profesi
dengan para anggotanya seyogianya disertai kesadaran dan
i’tikad
yang tulus baik pada organisasi maupun pada individual
anggotanya
untuk memonitor prilakunya sendiri. Mengingat organisasi dan
sekaligus juga anggotanya harus menjadi polisi atas dirinya
sendiri
maka hendaknya mereka bertindak sesuai dengan kewajiban dan
tuntunan moralnya baik terhadap klien maupun masyarakatnya.
Atas
dasar itu, adanya suatu perangkat kode etika yang telah disepakati
bersama oleh yang bersangkutan seyogianya membimbing hati
nuraninya dan mempedomani segala tingkah lakunya.
Dari keterangan tersebut di atas itu maka pada intinya bahwa
sesuatu pekerjaan itu dapat dipandang sebagai suatu profesi
apabila
minimal telah memadai hal-hal sebagai berikut:
1. Memiliki cakupan ranah kawasan pekerjaan atau pelayanan
khas, definitif dan sangat penting dan dibutuhkan
masyarakat.
2. Para pengemban tugas pekerjaan atau pelayanan tersebut
telah
memiliki wawasan, pemahaman dan penguasaan pengetahuan
serta perangkat teoritis yang relevan secara luas dan
mendalam;
menguasai perangkat kemahiran teknis kinerja pelayanan
memadai persyaratan standarnya; memiliki sikap profesi dan
semangat pengabdian yang positif dan tinggi; serta
kepribadian yang mantap dan mandiri dalam menunaikan tugas yang
diembannya dengan selalu mempedomani dan mengindahkan
kode etika yang digariskan institusi (organisasi)
profesinya.
3. Memiliki sistem pendidikan yang mantap dan mapan
berdasarkan ketentuan persyaratan standarnya bagi penyiapan
(preservice) maupun pengembangan (inservice, continuing,
development) tenaga pengemban tugas pekerjaan profesional
yang bersangkutan; yang lazimnya diselenggarakan pada
jenjang
pendidikan tinggi berikut lembaga lain dan organisasi
profesinya
yang bersangkutan.
4. Memiliki perangkat kode etik profesional yang telah
disepakati
dan selalu dipatuhi serta dipedomani para anggota pengemban
tugas pekerjaan atau pelayanan profesional yang
bersangkutan.
Kode etik profesional dikembangkan, ditetapkan dan
diberdayakan keefektivannya oleh organisasi profesi yang
bersangkutan.
5. Memiliki organisasi profesi yang menghimpun, membina, dan
mengembangkan kemampuan profesional, melindungi
kepentingan profesional serta memajukan kesejahteraan
anggotanya dengan senantiasa mengindahkan kode etikanya dan
ketentuan organisasinya.
6. Memiliki jurnal dan sarana publikasi profesional lainnya
yang
menyajikan berbagai karya penelitian dan kegiatan ilmiah
sebagai media pembinaan dan pengembangan para anggotanya
serta pengabdian kepada masyarakat dan khazanah ilmu
pengetahuan yang menopang profesinya.
7. Memperoleh pengakuan dan penghargaan yang selayaknya baik
secara sosial (dari masyarakat) dan secara legal (dari
pemerintah
yang bersangkutan atas keberadaan dan kemanfaatan profesi
termaksud).
Ornstein dan Levine (Soetjipto dan Kosasi, 2004:15)
menyatakan bahwa profesi itu adalah jabatan yang sesuai
dengan
pengertian profesi di bawah ini:
1. Melayani masyarakat, merupakan karier yang akan
dilaksanakan
sepanjang hayat (tidak berganti-ganti pekerjaan).
2. Memerlukan bidang ilmu dan keterampilan tertentu di luar
jangkauan khalayak ramai.
3. Menggunakan hasil penelitian dan aplikasi dari teori ke
praktek
(teori baru dikembangkan dari hasil penelitian).
4. Memerlukan pelatihan khusus dengan waktu yang panjang.
5. Terkendali berdasarkan lisensi baku dan atau mempunyai
persyaratan masuk (untuk menduduki jabatan tersebut
memerlukan izin tertentu atau ada persyaratan khusus yang
ditentukan untuk dapat mendudukinya).
6. Otonomi dalam membuat keputusan tentang ruang lingkup
kerja
tertentu (tidak diatur oleh orang luar).
7. Menerima tanggung jawab terhadap keputusan yang diambil
dan
unjuk kerja yang ditampilkan yang berhubungan dengan layanan
yang diberikan (langsung bertanggung jawab terhadap apa yang
diputuskannya, tidak dipindahkan ke atasan atau instansi
yang
lebih tinggi). Mempunyai sekumpulan unjuk kerja yang baku.
8. Mempunyai komitmen terhadap jabatan dan klien, dengan
penekanan terhadap layanan yang akan diberikan.
9. Menggunakan administrator untuk memudahkan profesinya,
relatif bebas dari supervisi dalam jabatan.
10. Mempunyai
organisasi yang diatur oleh anggota profesi sendiri.
11. Mempunyai asosiasi profesi dan atau kelompok ‘elit’
untuk
mengetahui dan mengakui keberhasilan anggotanya.
12. Mempunyai kode etik untuk menjelaskan hal-hal yang
meragukan atau menyangsikan yang berhubungan dengan
layanan yang diberikan.
13. Mempunyai kepercayaan yang tinggi dari publik dan
kepercayaan diri setiap anggotanya.
14. Mempunyai status
sosial dan ekonomi yang tinggi (bila
dibandingkan dengan jabatan lain).
D. Istilah yang Berkaitan dengan Profesi
Diskusi tentang profesi melibatkan beberapa istilah yang
berkaitan, yaitu profesi, profesional, profesionalisme,
profesionalisasi,
dan profesionalitas. Sanusi, dkk (1991:19) menjelaskan
kelima konsep
tersebut sebagai berikut.
1. Profesi adalah suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut
keahlian (experties) dari para anggotanya. Artinya, ia tidak
bisa
dilakukan oleh sembarangan orang yang tidak dilatih dan
tidak
disiapkan secara khusus untuk melakukan pekerjaan itu.
Keahlian
diperoleh melalui apa yang disebut profesionalisasi, yang
dilakukan baik sebelum seseorang menjalani profesi itu
(pendidikan/latihan pra-jabatan) maupun setelah menjalani
suatu
profesi (in-service training). Di luar pengertian ini, ada
beberapa
ciri profesi khususnya yang berkaitan dengan profesi
kependidikan.
2. Profesional menunjuk pada dua hal. Pertama, orang yang
menyandang suatu profesi, misalnya “Dia seorang
profesional”.
Kedua, penampilan seseorang dalam melakukan pekerjaannya
yang sesuai dengan profesinya. Pengertian kedua ini,
profesional
dikontraskan dengan “non-profesional” atau “amatir’.
3. Profesionalisme menunjuk kepada komitmen/teori/faham para
anggota suatu profesi untuk meningkatkan kemampuan
profesionalnya dan terus-menerus mengembangkan strategi-
strategi yang digunakannya dalam melakukan pekerjaan yang
sesuai dengan profesinya.
4. Profesionalitas mengacu kepada sikap para anggota profesi
terhadap profesinya serta derajat pengetahuan dan keahlian
yang
mereka miliki dalam rangka melakukan pekerjaannya.
5. Profesionalisasi menunjuk pada proses peningkatan
kualifikasi
maupun kemampuan para anggota profesi dalam mencapai
kriteria yang standar dalam penampilannya sebagai anggota
suatu
profesi. Profesionalisasi pada dasarnya merupakan
serangkaian
proses pengembangan profesional (professional development)
baik
dilakukan melalui pendidikan/latihan “pra-jabatan” maupun
“dalam-jabatan”. Oleh karena itu, profesionalisasi merupakan
proses yang life-long dan never-ending, secepat seseorang
telah
menyatakan dirinya sebagai warga suatu profesi.
Profesi menunjuk pada suatu pekerjaan atau jabatan yang
menuntut keahlian, tanggung jawab, dan kesetiaan terhadap
profesi.
Suatu profesi secara teori tidak bisa dilakukan oleh
sembarang orang
yang tidak dilatih atau disiapkan untuk itu.
Profesional menunjuk pada dua hal. Pertama, penampilan
seseorang yang sesuai dengan tuntutan yang seharusnya, tapi
bisa juga
menunjuk pada orangnya. Profesionalisasi menunjuk pada
proses
menjadikan seseorang sebagai profesional melalui pendidikan
pra-
jabatan dan/atau dalam jabatan. Proses pendidikan dan
latihan ini
biasanya lama dan intensif.
Profesionalisme menunjuk pada derajat penampilan seseorang
sebagai profesional atau penampilan suatu pekerjaan sebagai
profesi,
ada yang profesionalismenya tinggi, sedang, dan rendah.
Profesionalisme juga mengacu kepada sikap dan komitmen
anggota
profesi untuk bekerja berdasarkan standar yang tinggi dan
kode etik
profesinya.
E. Tingkatan Profesi
Tidak semua pekerjaan menuntut tingkat profesional tertentu,
keragaman kemampuan ditinjau dari tingkat keprofesionalan
yang
ada diperlukan karena di masyarakat terdapat berbagai
pekerjaan
yang kategorinya juga berbeda. Pertanyaannya sekarang,
jenis-jenis
bidang pekerjaan apa dan yang mana saja yang telah ada
dan/atau
sedang berkembang di masyarakat selama ini, serta bagaimana
pula
posisi atau status keprofesiannya. Dengan memperhatikan
pokok-
pokok perangkat ketentuan keprofesian tertentu, Richey
(1974) secara
tentatif telah mencoba mengidentifikasi tingkat-tingkat
keprofesian
itu seperti tertera pada Gambar 1 di bawah ini:
Richey (1974) sendiri tidak memberikan rincian contohnya
yang definitif tentang jenis pekerjaan apa atau yang mana
termasuk
kategori keprofesian yang mana. Akan tetapi dari berbagai
rujukan
lain, jenis-jenis pekerjaan ini semua memerlukan pelayanan
yang
ditujukan kepada orang lain. Perbedaan kategori pekerjaan
tidak
menunjukkan perbedaan unsur-unsur atau elemen yang
memerlukan pelayanan tetapi menunjukkan pada sifat dan
hakikat
dari pelayanan. Perbedaan kebutuhan pelayanan ini khususnya
dibedakan atas mendasar dan tidaknya tumpuan pekerjaan serta
besar kecilnya tanggung jawab yang dituntut. Sebagai
gambaran
yang dapat digolongkan ke dalam jenis kategori yang mapan
itu
antara lain: hukum, kedokteran, dan sebagainya. Sedangkan
yang
termasuk kategori yang baru antara lain: akuntan, arsitek,
dsb.
Oteng Sutisna mengklaim bidang kependidikan, khususnya
administrasi kependidikan sebagai salah satu jenis profesi
yang
sedang tumbuh kembang (1983:311-314). Adapun jenis pekerjaan
yang termasuk kategori semiprofesional, banyak disebut juga
diantaranya keperawatan dan juga sebagian dari gugus
pekerjaan
kependidikan, misalnya para guru di tingkat pendidikan dasar
(Richey, 1974:13-14). Kemudian yang sering didengar juga
sejenis
pekerjaan yang mengklaim dirinya sebagai profesi, di
Indonesia
misalnya bidang kemiliteran yang dinyatakannya ABRI sebagai
prajurit profesional.
Bloom dan Balinsky (1961:408-411) meskipun tidak
membedakan secara tegas batas antara kategori profesioanl
dan semi
profesional telah menunjukkan sejumlah bidang pekerjaan yang
termasuk ke dalam kedua kategori tersebut sebagai suatu
kesatuan
kelompok bidang pekerjaan dalam tatanan dunia kerja, gambar
berikut menjelaskan
berbagai jenis/bidang profesi:
Ciri-ciri profesi sebagaimana dikemukakan pada uraian di
atas dapat digunakan sebagai kriteria atau tolok ukur
keprofesionalan guru. Selanjutnya kriteria ini akan
berfungsi ganda,
yaitu:
1. Untuk mengukur sejauh mana guru-guru di Indonesia telah
memenuhi kriteria profesionalisasi.
2. Untuk dijadikan titik tujuan yang akan mengarahkan segala
upaya menuju profesionalisasi guru.
Khusus untuk jabatan guru, sebenarnya juga sudah ada yang
mencoba menyusun kriterianya. Misalnya National Education
Association (NEA) menyarankan kriteria berikut:
1. Jabatan melibatkan kegiatan intelektual
2. Jabatan menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus.
3. Jabatan memerlukan persiapan profesional yang lama
(bandingkan dengan pekerjaan memerlukan latihan umum
belaka).
4. Jabatan memerlukan
’latihan dalam jabatan’ yang
berkesinambungan
5. Jabatan menjanjikan karier hidup dan keanggotaan yang
permanen.
6. Jabatan menentukan baku (standar) sendiri.
7. Jabatan lebih mementingkan layanan di atas keuntungan
pribadi.
8. Jabatan mempunyai organisasi profesional yang kuat dan
terjalin
erat.
Berikut ini penjelasan kriteria di atas:
1. Jabatan melibatkan
kegiatan intelektual
Jelas sekali bahwa jabatan guru memenuhi kriteria ini,
karena
mengajar melibatkan upaya-upaya yang sifatnya sangat
didominasi
kegiatan intelektual. Lebih lanjut dapat diamati, bahwa
kegiatan-
kegiatan yang dilakukan anggota profesi ini adalah dasar
bagi
persiapan dari semua kegiatan profesional lainnya. Oleh
sebab itu,
mengajar seringkali disebut sebagai ibu dari segala profesi
(Stinnett
dan Huggett dalam Soetjipto dan Kosasi, 2004:18).
2. Jabatan menggeluti
suatu batang tubuh ilmu yang khusus.
Semua jabatan mempunyai monopoli pengetahuan yang
memisahkan anggota mereka dari orang awam, dan memungkinkan
mereka mengadakan pengawasan tentang jabatannya. Anggota-
anggota suatu profesi menguasai bidang ilmu yang membangun
keahlian mereka dan melindungi masyarakat dari
penyalahgunaan,
amatiran yang tidak terdidik, dan kelompok tertentu yang
ingin
mencari keuntungan. Namun belum ada kesepakatan tentang
bidang
ilmu khusus yang melatari pendidikan (education) atau
keguruan
(teaching) (Ornstein dan Levine, dalam Soetjipto dan Kosasi,
2004:19).
Terdapat berbagai pendapat tentang apakah mengajar
memenuhi persyaratan kedua ini. Mereka yang bergerak di
bidang
pendidikan menyatakan bahwa mengajar telah mengembangkan
secara jelas bidang khusus yang sangat penting dalam
mempersiapkan
guru yang berwenang. Sebaliknya, ada yang berpendapat bahwa
mengajar belum mempunyai batang tubuh ilmu khusus yang
dijabarkan secara ilmiah. Kelompok pertama percaya bahwa
mengajar
adalah suatu sains (science), sementara kelompok kedua
mengatakan
bahwa mengajar adalah suatu kiat/seni (art). Namun dalam
karangan-
karangan yang ditulis dalam Encyclopedia of Educational
Research
misalnya, terdapat bukti-bukti bahwa pekerjaan mengajar
telah secara
intensif mengembangkan batang tubuh ilmu khususnya. Sebaliknya
masih ada juga yang benpendapat bahwa ilmu pendidikan sedang
dalam krisis identitas, batang tubuhnya tidak jelas,
batas-batasnya
kabur, strukturnya sebagai a body of knowledge samar-samar
(Sanusi
et. al, 204:19). Sementara itu, ilmu pengetahuan tingkah
laku
(behavioural science), ilmu pengetahuan alam dan bidang
kesehatan
dapat dibimbing langsung dengan peraturan dan prosedur yang
ekstensif dan menggunakan metodologi yang jelas. Ilmu
pendidikan
kurang terdefinisi dengan baik. Diamping itu, ilmu terpakai
dalam
dunia nyata pengajaran masih banyak yang belum teruji
validasinya
dan disetujui sebagian besar ahlinya. (Gideons dan Woodring,
dalam
Soetjipto dan Kosasi, 2004:20).
Sebagai hasilnya, banyak orang khususnya orang awam, seperti
juga dengan para ahlinya, selalu berdebat dan berselisih,
malahan
kadang-kadang menimbulkan pembicaraan yang negatif. Hasil
lain
dari bidang ilmu yang belum terdefinisi dengan baik ini
adalah isi dari
kurikulum pendidikan guru berbeda antara satu tempat dengan
tempat lainnya, walaupun telah mulai disamakan dengan
menentukan
topik-topik inti yang wajib ada dalam kurikulum.
Banyak guru di sekolah menengah diperkirakan mengajar di
luar bidang ilmu yang cocok dengan ijazahnya; misalnya
banyak guru
matematika yang tidak mendapatkan mayor dalam matematika
sewaktu dia belajar pada lembaga pendidikan guru, ataupun
mereka
tidak disiapkan untuk mengajar matematika. Masalah ini
sangat
menonjol dalam bidang matematika dan ilmu pengetahuan alam,
walaupun sudah agak berkurang dengan adanya persediaan guru
yang
cukup sekarang ini.
Apakah guru bidang ilmu pengetahuan tertentu juga ditentukan
oleh baku pendidikan dan pelatihannya? Sampai saat ini
pendidikan
guru banyak yang ditentukan ”dari atas”, ada yang waktu
pendidikannya cukup dua tahun saja, ada yang perlu tiga
tahun atau
harus empat tahun.
Untuk melangkah kepada jabatan profesional, guru harus
mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam membuat keputusan
tentang jabatannya sendiri. Organisasi guru harus mempunyai
kekuasaan dan kepemimpinan yang potensial untuk bekerja
sama, dan
bukan didikte dengan kelompok yang berkepentingan, misalnya
oleh
lembaga pendidikan guru atau kantor wilayah pendidikan
beserta
jajarannya.
3. Jabatan memerlukan
persiapan profesional yang lama (bandingkan
dengan pekerjaan yang memerlukan latihan umum belaka).
Lagi-lagi terdapat perselisihan pendapat mengenai hal ini
yang
membedakan jabatan profesional dengan non-profesional antara
lain
adalah dalam penyelesaian pendidikan melalui kurikulum,
yaitu ada
yang diatur universitas/institut atau melalui pengalaman
praktek dan
pemagangan atau campuran pemagangan dan kuliah. Pertama,
yakni
pendidikan melalui perguruan tinggi disediakan untuk jabatan
profesional, sedangkan yang kedua, yakni pendidikan melalui
pengalaman praktek dan pemagangan atau campuran pemagangan
dan kuliah diperuntukkan bagi jabatan yang non-profesional
(Orstein
dan Levine, 2004:21).
Anggota kelompok guru dan yang berwenang di departemen
pendidikan berpendapat bahwa persiapan profesional yang
cukup
lama amat perlu untuk mendidik guru yang berwenang. Konsep
ini
menjelaskan keharusan memenuhi kurikulum perguruan tinggi,
yang
terdiri dari pendidikan umum, profesional, dan khusus,
sekurang-
kurangnya empat tahun bagi guru pemula (S1 di LPTK) atau
pendidikan persiapan profesional di LPTK paling kurang
selama
setahun setelah mendapat gelar akademik S1 di perguruan
tinggi non-
LPTK. Namun sampai sekarang di Indonesia ternyata masih
banyak
guru yang lama pendidikan mereka sangat singkat, malahan
masih ada
yang hanya seminggu, sehingga tentu saja kualitasnya masih
sangat
jauh untuk dapat memenuhi persyaratan yang kita harapkan.
4. Jabatan memerlukan
’latihan dalam
jabatan’ yang
berkesinambungan
Jabatan guru cenderung menunjukkan bukti yang kuat sebagai
jabatan profesional, sebab hampir tiap tahun guru melakukan
berbagai
kegiatan latihan profesional, baik yang mendapatkan
penghargaan
kredit maupun tanpa kredit. Malahan pada saat sekarang
bermacam-
macam pendidikan profesional tambahan diikuti guru-guru
dalam
menyetarakan dirinya dengan kualifikasi yang telah
ditetapkan.
5. Jabatan menjanjikan karier hidup dan keanggotaan yang
permanen.
Di luar negeri barangkali syarat jabatan guru sebagai karier
permanen merupakan titik yang paling lemah dalam menuntut
bahwa
mengajar adalah jabatan profesional. Banyak guru baru yang
hanya
bertahan selama satu atau dua tahun saja pada profesi
mengajar,
setelah itu mereka pindah kerja ke bidang lain, yang lebih
banyak
menjanjikan bayaran yang lebih tinggi. Untunglah di
Indonesia
kelihatannya tidak begitu banyak guru yang pindah ke bidang
lain,
walaupun bukan berarti pula bahwa jabatan guru di Indonesia
mempunyai pendapatan yang tinggi. Alasannya mungkin karena
lapangan kerja dan sistem pindah jabatan yang agak sulit.
Dengan
demikian kriteria ini dapat dipenuhi oleh jabatan guru di
Indonesia.
6. Jabatan menentukan
baku (standar) sendiri.
Karena jabatan guru menyangkut hajat orang banyak, maka baku
untuk jabatan guru ini sering tidak diciptakan oleh anggota
profesi
sendiri, terutama di negara kita. Baku jabatan guru masih
sangat
banyak diatur oleh pihak pemerintah, atau pihak lain yang
menggunakan tenaga guru tersebut seperti yayasan pendidikan
swasta.
Sementara kebanyakan jabatan mempunyai patokan dan
persyaratan yang seragam untuk meyakinkan kemampuan minimum
yang diharuskan, tidak demikian halnya dengan jabatan guru.
Dari
pengalaman beberapa tahun terakhir penerimaan calon
mahasiswa
yang masuk ke lembaga pendidikan guru nantinya, karena
bagaimanapun juga mutu lulusan akan sangat dipengaruhi oleh
mutu
masukan atau bahan bakunya, dalam hal ini mutu calon
mahasiswa
lembaga pendidikan guru.
Dalam setiap jabatan profesi setiap anggota kelompok
dianggap
sanggup untuk membuat keputusan profesional berhubungan
dengan
iklim kerjanya. Para profesional biasanya membuat peraturan
sendiri
dalam daerah kompetensinya, kebiasaan dan tradisi yang
berhubungan
dengan pekerjaan dan hal-hal yang berhubungan dengan
langganan
kliennya.
Karena jabatan guru menyangkut hajat orang banyak, maka baku
untuk jabatan guru ini sering tidak diciptakan oleh anggota
profesi
sendiri, terutama di negara kita. Baku jabatan guru masih
sangat
banyak diatur oleh pihak pemerintah, atau pihak lain yang
menggunakan tenaga guru tersebut seperti yayasan pendidikan
swasta.
Sementara kebanyakan jabatan mempunyai patokan dan
persyaratan yang seragam untuk meyakinkan kemampuan minimum
yang diharuskan, tidak demikian halnya dengan jabatan guru.
Dari
pengalaman beberapa tahun terakhir penerimaan calon
mahasiswa
yang masuk ke lembaga pendidikan guru nantinya, karena
bagaimanapun juga mutu lulusan akan sangat dipengaruhi oleh
mutu
masukan atau bahan bakunya, dalam hal ini mutu calon
mahasiswa
lembaga pendidikan guru.
Dalam setiap jabatan profesi setiap anggota kelompok
dianggap
sanggup untuk membuat keputusan profesional berhubungan
dengan
iklim kerjanya. Para profesional biasanya membuat peraturan
sendiri
dalam daerah kompetensinya, kebiasaan dan tradisi yang
berhubungan
dengan pekerjaan dan hal-hal yang berhubungan dengan
langganan
kliennya.
di negara kita, kriteria ini belum dapat secara keseluruhan
dipenuhi
oleh jabatan guru.
7. Jabatan lebih mementingkan layanan di atas keuntungan
pribadi.
Jabatan mengajar adalah jabatan yang mempunyai nilai sosial
yang tinggi, tidak perlu diragukan lagi. Guru yang baik akan
sangat
berperan dalam mempengaruhi kehidupan yang lebih baik dari
warga
negara masa depan.
Jabatan guru telah terkenal secara universal sebagai suatu
jabatan yang anggotanya termotivasi oleh keinginan untuk
membantu
orang lain, bukan disebabkan oleh keuntungan ekonomi atau
keuangan. Kebanyakan guru memilih jabatan ini berdasarkan
apa yang
dianggap baik oleh mereka yakni mendapatkan kepuasan
rohaniah
ketimbang kepuasan ekonomi atau lahiriah. Namun tidak
berarti bahwa
guru harus dibayar lebih rendah tetapi juga jangan
mengharapkan
akan cepat kaya bila memilih jabatan guru. Oleh karena itu,
tidak perlu
diragukan lagi bahwa persyaratan ketujuh ini dapat dipenuhi
dengan
baik.
8. Jabatan mempunyai organisasi profesional yang kuat dan
terjalin erat.
Semua profesi yang dikenal mempunyai organisasi profesional
yang kuat untuk dapat mewadahi tujuan bersama dan melindungi
anggotanya. Dalam beberapa hal, jabatan guru telah memenuhi
kriteria
ini dan dalam hal lain belum dapat dicapai. Di Indonesia
telah ada
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang merupakan
wadah
seluruh guru mulai dari guru taman kanak-kanak sampai guru
sekolah
lanjutan tingkat atas, dan ada pula Ikatan Sarjana Pendidikan
Indonseia
(ISPI) yang mewadahi seluruh sarjana pendidikan. Di samping
itu, juga
telah ada kelompok guru mata pelajaran sejenis, baik pada
tingkat
daerah maupun tingkat nasional, namun belum terkait secara
baik
dengan PGRI. Harus dicarikan usaha yang sungguh-sungguh agar
kelompok-kelompok guru mata pelajaran sejenis itu tidak
dihilangkan,
tetapi dirangkul ke dalam pangkuan PGRI sehingga merupakan
jalinan
yang amat rapi dari suatu profesi yang baik.
Syarat-syarat umum tersebut harus dipenuhi dengan sebaik-
baiknya oleh mereka yang akan terjun dalam kalangan
pendidikan dan
pengajaran. Bagaimanapun juga pekerjaan mengajar adalah
suatu
“profession”, dan syarat-syarat umum tadi dengan segala
pendidikan
dan latihan yang diperlukan untuk memenuhinya, adalah akibat
wajar
yang lahir dari suatu “profession status”. Oleh karena itu,
atas dasar
syarat-syarat umum tersebut, susunan rencana pelajaran untuk
pendidikan guru berpokok pada:
(1) pendidikan profesional
(2) pendidikan umum
(3) pendidikan spesialisasi
Gagasan ketiga model ini ternyata amat selaras dengan dasar
pemikiran yang berkembang di lingkungan UNESCO sebagaimana
dikemukakan Goble (1977) dalam bukunya The Changing Role of
The
Teacher, yang mengidentifikasikan beberapa kecenderungan
perubahan peranan guru, yaitu:
(1) Kecenderungan ke arah diversifikasi fungsi-fungsi proses
pembelajaran dan peningkatan tanggung jawab yang lebih besar
dalam pengorganisasian isi dari proses belajar mengajar.
(2) Kecenderungan ke arah bergesernya titik berat dari
pengajaran yang
merupakan pengalihan/transformasi pengetahuan oleh guru
kepada
proses belajar oleh siswa, dengan memanfaatkan semaksimal
mungkin penggunaan sumber-sumber belajar yang inovatif di
lingkungan masyarakat.
(3) Kecenderungan ke arah individualisasi proses relajar dan
berubahnya struktur hubungan antara guru dan siswa.
(4) Kecenderungan ke arah penggunaan teknologi pendidikan
modern
dan penguasaan atas pengetahuan dan ketrampilan yang
diperlukan.
(5) Kecenderungan ke arah diterimanya bentuk kerjasama yang
ruang
lingkupnya lebih luas bersama guru-guru yang mengajar di
sekolah
lain; dan berubahnya struktur hubungan antara para guru sendiri.
(6) Kecenderungan ke arah kebutuhan untuk membina kerjasama
yang
lebih erat dengan orang tua dan orang lain di dalam
masyarakat
serta meningkatkan keterlibatan di dalam kehidupan
masyarakat.
(7) Kecenderungan ke arah diterimanya partisipasi pelayan sekolah
dan
kegiatan ekstra kurikuler.
(8) Kecenderungan ke arah sikap yang menerima kenyataan
bahwa
otoritas tradisional dalam hubungannya dengan anak-anak
telah
berkurang-terutama antara anak-anak yang lebih tua terhadap
orang tuanya.
F. Urgensi Profesionalisme dalam Kehidupan
Pada dasarnya
profesionalisme dan sikap professional itu
merupakan motivasi intrinsik yang ada pada diri seseorang
sebagai
pendorong untuk mengembangkan dirinya menjadi tenaga
profesional.
Motivasi intrinsik tersebut akan berdampak pada munculnya
etos kerja
yang unggul (exellence) yang ditunjukkan dalam lima bentuk
kerja
sebagai berikut:
a. Keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang
mendekati
standar ideal.
Berdasarkan kriteria ini, jelas bahwa guru yang memiliki
profesional
tinggi akan selalu berusaha mewujudkan dirinya sesuai dengan
standar ideal akan mengidentifikasikan dirinya kepada figur
yang
dipandang memiliki standar ideal.
b. Meningkatkan dan memelihara citra profesi.
Profesionalisme yang tinggi ditunjukkan oleh besarnya
keinginan
untuk selalu meningkatkan dan memelihara citra profesi
melalui
perwujudan perilaku profesional. Perwujudan dilakukan
melalui
berbagai cara, penampilan, cara bicara, penggunaan bahasa,
postur,
sikap hidup sehari-hari, hubungan antar pribadi, dan
sebagainya.
c. Memanfaatkan setiap kesempatan pengembangan profesional.
Berdasarkan kriteria ini, para guru diharapkan selalu
berusaha
mencari dan memanfaatkan kesempatan yang dapat
mengembangkan profesinya. Berbagai kesempatan yang dapat
dimanfaatkan antara lain: (a) mengikuti kegiatan ilmiah
seperti
lokakarya, seminar, dan sebagainya, (b) mengikuti penataran
atau
pendidikan lanjutan, (c) melakukan penelitian dan pengabdian
pada
masyarakat, (d) menelaah kepustakaan, membuat karya ilmiah,
serta,
serta (e) memasuki organisasi profesi.
d. Mengejar kualitas dan cita-cita dalam profesi.
Hal ini mengandung makna bahwa profesionalisme yang tinggi
ditunjukkan dengan adanya upaya untuk selalu mencapai
kualitas
dan cita-cita sesuai dengan program yang telah ditetapkan.
Guru
yang memiliki profesionalisme tinggi akan selalu aktif dalam
seluruh
kegiatan dan perilakunya untuk menghasilkan kualitas yang
ideal.
Secara kritis, ia akan selalu mencari dan secara aktif
selalu
memperbaiki din untuk memperoleh hal-hal yang lebih baik
dalam
melaksanakan tugasnya.
e. Memiliki kebanggaan terhadap profesinya.
Profesionalisme ditandai dengan kualitas derajat kebanggaan
akan
profesi yang dipegangnya. Dalam kaitan ini, diharapkan agar
para
guru memiliki rasa bangga dan percaya diri akan profesinya.
Rasa
bangga ini ditunjukkan dengan penghargaan akan pengalamannya
di masa lalu, berdedikasi tinggi terhadap tugas-tugasnya
sekarang,
dan meyakini akan potensi dirinya bagi perkembangan di masa
depan.
UU Nomor 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen
menempatkan kedudukan guru sebagai tenaga profesional sangat
urgen
karena berfungsi untuk meningkatkan martabat guru sendiri
dan
meningkatkan mutu pendidikan nasional. Ini tertera pada
pasal 4:
“Kedudukan guru sebagai tenaga professional sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan martabat
dan
peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk
meningkatkan
mutu pendidikan nasional”.
Selanjutnya Pasal 6 menyatakan tujuan menempatkan guru
sebagai tenaga professional yaitu:
“Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional
bertujuan
untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan
tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi
peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwakepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis
dan
bertanggung jawab.”
G. Rangkuman
Berdasar uraian pada
bab 1 di atas dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Profesi adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan
oleh
seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang
memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi
standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan
profesi.
Profesionalisme adalah faham atau ajaran yang
menekankan bahwa segala sesuatu pekerjaan harus dilakukan
dengan professional. Profesional mengacu kepada sebutan
orang
yang menyandang suatu profesi dan sebutan tentang penampilan
seseorang dalam mewujudkan unjuk kerja sesuai dengan
profesinya.
Profesionalitas adalah suatu sebutan terhadap kualitas dan
derajat
keahlian yang dimiliki seseorang untuk dapat melakukan
tugas-
tugasnya. Dengan demikian, sebutan profesionalitas lebih
menggambarkan suatu “keadaan” derajat keprofesian seseorang.
2. Guru merupakan jabatan profesi didasarkan pada UU nomor
14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 7. Di samping itu
juga PP
Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru pasal 2 yang
mempersyaratkan bagi guru professional memenuhi standar
kualifikasi, kompetensi dan sertifikasi.
3. Profesionalitas seseorang sangat urgen dalam semua segi
kehidupan,
termasuk dalam jabatan guru, karena akan dapat meningkatkan
martabat dan harkat guru di satu sisi, dan pada sisi yang
lain akan
dapat meningkatkan mutu pendidikan nasional.
H. Latihan-latihan
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Apa perbedaan antara pekerjaan yang dilandasi dengan
profesionalisme dan yang asal-asalan (amatir)?
2. Sebutkan dan jelaskan syarat-syaratprofesi!
3. Dengan menggunakan prinsip profesionalitas, maka tidak
semua
orang boleh menjadi guru, bukankan menyebarkan ilmu itu
keharusan bagi siapa saja yang memiliki ilmu? Bagaimana
pendapat
anda?
4. Apa manfaat jabatan guru dengan menggunakan prinsip
profesionalitas?
5. Apa konsekwensi yang harus dilakukan oleh pemerintah
dengan
lahirnya UU Nomor 14/2005 dan PP 74/2008 ?
Comments
Post a Comment